Presiden Didesak Segera Bentuk Lembaga Penyelenggara Perlindungan Data Pribadi Dikarenakan Banyak Data Bocor
Chairman Lembaga Riset Keamanan Siber CISSReC, Dr. Pratama Persadha mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera membentuk Lembaga Penyelenggara Perlindungan Data Pribadi. Maraknya kebocoran data yang terjadi menyebabkan meningkatnya penipuan seperti pinjol serta menjamurnya iklan tentang ajakan bermain judi online.
Pratama menyoroti berbagai insiden siber yang terjadi secara beruntun di Indonesia. Mulai dari kegagalan sistem PDN karena serangam ransomware, penjualan data pribadi dari seorang peretas dengan nama anonim MoonzHaxor di darkweb yang menawarkan data dari Inafis, BAIS, Kemenhub, KPU, peretasan dan pencurian data pribadi dari 4,7 juta ASN yang berasal dari BKN, dugaan kebocoran data Dirjen Pajak oleh Bjorka, hingga yang terbaru kebocoran data 6 juta data NPWP termasuk milik Jokowi dan Gibran Rakabuming Raka.
“Ssatu penyebab maraknya kebocoran data yang terjadi adalah belum adanya sanksi baik sanksi administratif maupun sanksi berupa denda kepada perusahan atau organisasi yang mengalami kebocoran data dimana sanksi hukuman tersebut hanya dapat dijatuhkan oleh lembaga atau komisi yang dibentuk oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden,” ucapnya dalam keterangan dikutip Rabu (18/9/2024).
Bulan depan, lanjutnya, tepatnya pada tanggal 18 Oktober 2024 akan menjadi hari pertama Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) mulai berlaku setelah ditetapkan dan disahkan pada tanggal 17 Oktober 2022. UU ini telah memberikan waktu selama 2 tahun untuk Pengendali Data Pribadi serta Prosesor Data Pribadi dan pihak lain yang terkait dengan pemrosesan data pribadi untuk melakukan penyesuaian.
Pratama menegaskan, UU PDP ini memberikan kerangka hukum yang lebih jelas mengenai pengumpulan, penggunaan, dan penyimpanan data pribadi, serta memberikan sanksi yang lebih tegas bagi pelanggaran.
“Disayangkan Presiden sampai sekarang belum juga membentuk lembaga ini. Apabila Presiden tidak dengan segera membentuk Lembaga Penyelenggara PDP sampai batas waktu 17 Oktober 2024, Presiden Jokowi berpotensi melanggar UU PDP. UU PDP ini mengamanatkan kepada Presiden untuk membentuk Lembaga Penyelenggara PDP seperti yang tertera pada pasal 58 sampai dengan pasal 61 yang mengatur tentang kelembagaan UU PDP ini, di mana pasal 58 ayat (3) berbunyi ‘Lembaga sebagaimana pada ayat (2) ditetapkan oleh Presiden’,” ucapnya.
Pratama melanjutkan, Pelindungan Data Pribadi juga masuk ke dalam pelindungan Hak Asasi Manusia (HAM) karena merupakan amanat dari Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan data pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harya benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi."
Dengan tidak adanya Lembaga Penyelenggara PDP yang dapat memberikan sanksi tersebut, ujarnya, maka perusahaan atau organisasi yang mengalami kebocoran data pribadi seolah-olah abai terhadap insiden keamanan siber. Bahkan mereka juga tidak mempublikasikan laporan terkait insiden tersebut padahal hal tersebut melanggar pasal 46 ayat 1 yang diamanatkan dalam Undang-Undang no 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi di mana UU tersebut mengatur bahwa Dalam hal terjadi kegagalan Pelindungan Data Pribadi, Pengendali Data Pribadi wajib pemberitahuan secara tertulis paling lambat 3 x 24 jam kepada Subjek Data Pribadi dan lembaga. Adapun data apa yang perlu diungkapkan diatur dalam pasal 46 ayat 2 UU PDP yaitu minimal terkait Data Pribadi yang terungkap, kapan dan bagaimana Data Pribadi terungkap dan upaya penanganan dan pemulihan atas terungkapnya Data Pribadi oleh Pengendali Data Pribadi.
Aspek hukum lainnya dari UU PDP, kata Pratama, adalah Pasal 47 yang menjelaskan bahwa pengendali data pribadi memiliki kewajiban untuk membuktikan pemenuhan kewajiban dalam menerapkan prinsip-prinsip pelindungan data pribadi, sehingga pengendali data pribadi yang mengalami insiden kebocoran data wajib memberikan klarifikasi hasil investigasi serta apa saja metode keamana yang dipergunakan supaya dapat menjamin keamanan data pribadi yang dikendalikannya.
Selain itu aspek hukum lainnya adalah ancaman hukum terhadap pelanggaran terhadap UU PDP seperti Pasal 57 ayat (2) yang mengatur tentang denda administratif paling tinggi sebesar 2 persen dari pendapatan tahunan atau penerimaan tahunan terhadap variabel pelanggaran, serta Pasal 65 ayat (1) yang mengatur pidana penjara paling lama 5 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp5 miliar.
“Oleh karena itu, pembentukan Lembaga Penyelenggara PDP merupakan sebuah urgensi yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah serta Presiden terutama jika dilihat dari 3 perspektif,” kata dia.
Perspektif pertama adalah perspektif keamanan siber karena pembantukan Lembaga Penyelenggara PDP akan dapat memberikan perlindungan kepada data sensitif, memberikan pencegahan terhadap serangan siber, melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran, peningkatan kesadaran dan edukasi, kolaborasi dengan pihak terkait serta meningkatkan kepercayaan investor serta konsumen.
Perspektif selanjutnya adalah Perspektif Keamanan Nasional, di mana Lembaga Penyelenggara PDP akan dapat memberikan perlindungan inftastruktur kritis di Indonesia, mencegah spionase dan mata-mata digital, membangun ketahanan terhadap ancaman siber, serta mengurangi kerentanan terhadap serangan asimetris atau perang siber. Perspektif terakhir adalah dari Perspektif Ketahanan Nasional dimana Lembaga Penyelenggara PDP akan dapat menjaga kedaulatan negara dan kedaulatan ekonomi, meningkatkan stabilitas sosial serta menjamin kontinuitas operasional yang menyangkut layanan kepada masyarakat luas.
“Lembaga Penyelenggara PDP yang dibentuk nantinya diharapkan sesuai dengan best practice yang ada, di antaranya adalah Lembaga Penyelenggara PDP harus memiliki wewenang dan kewenangan yang kuat untuk mengatur, mengawasi dan menegakkan kepatuhan terhadap standar keamanan data pribadi,” tukasnya.
Pratama melanjutkan, Lembaga Penyelenggara PDP harus secara teratur melakukan penilaian risiko terhadap data pribadi yang diolah oleh organisasi publik dan swasta. Lembaga Penyelenggara PDP juga harus melakukan audit dan pemeriksaan independen terhadap kepatuhan organisasi atas kebijakan dan dan standar keamanan data pribadi. Kemudian Lembaga Penyelenggara PDP harus mendorong penggunaan teknologi enkripsi dan pengamanan data lainnya untuk melindungi data pribadi dari akses yang tidak sah.
Lembaga Penyelenggara PDP juga harus mendorong organisasi untuk memiliki rencana yang terperinci untuk mendeteksi, merespon, dan memulihkan diri dari serangan siber. Selain itu Lembaga Penyelenggara PDP juga harus bisa mendorong organisasi untuk melaporkan insiden keamanan siber kepada pihak berwenang sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Yang perlu diperhatikan oleh Pemerintah dan Presiden tidak hanya terkait kelembagaannya saja, namun juga sangat penting menunjuk pemimpin yang memiliki kompetensi untuk memimpin Lembaga Penyelenggara PDP tersebut karena kepemimpinan yang memiliki kompetensi tinggi sangatlah krusial mengingat tantangan dalam ruang siber semakin kompleks dan beragam sehingga memerlukan pemimpin yang memahami secara mendalam berbagai aspek keamanan siber termasuk ancaman yang berkembang, teknologi terbaru, dan regulasi terkait,” ucapnya.
Pratama mengakhiri, pemimpin yang berkompeten akan dapat memimpin tim dengan efisien serta mampu merespons dengan cepat dan tepat dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan merespons ancaman siber yang muncul dalam menghadapi ancaman siber yang terus berubah. Kepemimpinan yang kompeten dan efektif akan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap kemampuan negara dalam melindungi warga dan infrastruktur dari ancaman siber.